Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2008

Sultan HB X & Dukungan Golkar

Oleh Agus Wibowo * Dimuat di Harian Joglosemar. Edisi 20 Oktober 2008. Hari ini merupakan peringatan ulang tahun yang ke-44 Partai Golkar (PG). Di usia yang tidak muda lagi, PG mestinya sudah mampu melaksanakan cita-cita yang diamanatkan para founding father. Lebih dari itu, PG harus mampu mempertahankan “Doktrin Karya Kekaryaan”, yang merupakan simbol perlawanan kelompok non-partisan terhadap budaya buruk Parpol. Kesadaran ini menjadi penting, pasalnya, dalam sistem multipartai para elite Parpol lebih sering fokus pada perebutan kekuasaan, memproduksi ketegangan atau konflik antar-kelompok pendukung, yang muaranya menimbulkan perpecahan bangsa. Tidak dimungkiri, PG saat ini menjelma sebagai partai besar, partai terpopuler di kalangan anak muda, dan partai yang bakal dipilih oleh mayoritas pemilih pada Pemilu 2009. Hasil riset yang dilakukan Quest Research Indonesia (QRI) bekerja sama dengan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), menunjukkan bahwa PG menempati urutan pertama, y

Menanti Sumbangsih Kaum Akademik

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Suara Merdeka, Edisi 20 Oktober 2008 SEJARAWAN Sartono Kartodirdjo pernah mengkritisi para doktor, dosen, dan kaum intelektual di Indonesia. Mereka, kata Sartono, ibarat pohon pisang yang hanya berbuah sekali, selanjutnya vakum. Atau, sekali berkarya yakni ketika menyusun disertasi, setelah itu tamat dan tutup buku. Tidak dimungkiri, para doktor dan kaum akademisi pada umumnya miskin dengan karya; entah karya tulis ilmiah (hasil penelitian), buku, apalagi artikel di media massa. Sebagai gambaran, di Universitas Gadjah Mada (UGM), lebih dari 300 guru besar yang dimiliki, hanya 30 persen saja yang melakukan penelitian (Kompas Jogja, 2/2/2007). Pertanyaannya, jika UGM saja seperti itu, bagaimana dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang lain? Bagaimana dengan perguruan tinggi swasta (PTS)? Maka wajar, jika hadiah Nobel —penghargaan tertinggi terhadap karya seseorang di berbagai bidang— terutama masalah sains, ekonomi, sastra, dan perdamaian tidak pernah mamp

Pendidikan dan Problem Pengangguran

Oleh Agus Wibowo * Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 9 Oktober 2008 "Problem pelik yang dihadapi Indonesia—dan negara-negara berkembang pada umumnya—adalah masalah pengangguran, khususnya pengangguran terdidik. Menurut data BPS (2007), jumlah sarjana yang menjadi pengangguran terus mengalami kenaikan. Tahun 2004 baru 348.000, tahun 2005: 385.418, tahun 2006: 673. 628, dan tahun 2007 menjadi 740.206 orang. Jumlah itu, kata Fasli Jalal (2008), akan terus mengalami kenaikan karena setiap tahunnya, akan ditambah 323.902 sarjana lulus dari berbagai perguruan tinggi (PT)." Sarjana yang menganggur itu, kebanyakan lulusan program studi noneksakta (ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan politik). Proporsinya, dari 2,2 juta mahasiswa Indonesia, 78% di antaranya menempuh kuliah di bidang studi pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan 12 persen di bidang teknologi, dan hanya 10 persen yang menempuh kuliah di bidang sains. Fenomena kelebihan tenaga kerja terdidik sebagaimana diura

Mengatasi Problem Urbanisasi

Oleh Agus Wibowo * Dimuat Harian Bali Pos, Edisi Senin, 6 Oktober 2008. "Perilaku urbanisasi, selain untuk mempertahankan hidup dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya, juga dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan." Urbanisasi menemukan momentumnya setiap tahun sekali, yakni usai mudik Lebaran. Pada momen itu, aparat yang menangani masalah kependudukan di kota-kota besar dipusingkan dengan kehadiran 'warga baru' yang selalu meningkat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebaiknya kota-kota besar menyiasati laju urbanisasi itu? Kebijakan mengurangi kaum urban, sejatinya serba dilematis. Di satu sisi, problem sosial kependudukan yang diakibatkan penyempitan hunian, berkelit-berkelindan dengan persoalan tenaga kerja. Kaum urban itu, tidak seluruhnya tertampung pada lapangan kerja ya

Kesalehan Kultural Tradisi ”Syawalan”

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Sinar Harapan Edisi Selasa, 30 September 2008 Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akar historis. Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Tesis itu, sangat relevan diajukan guna mengungkap tradisi ”syawalan”, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun. Istilah syawalan atau sering disebut halal bihalal, memang berasal dari bahasa Arab. Uniknya, istilah itu tidak dikenal oleh masyarakat Arab, karena memang tidak terdapat dalam tradisi dan kebudayaan mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syawalan memiliki arti “acara maaf-memaafkan” pada hari Lebaran. Sementara, istilah halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata ba-hasa Arab halal (baik atau diperbo-lehkan) yang diapit satu kata peng-hubung ba (Quraish Shihab, 1992). Tradisi syawalan, kata Umar Kay