Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2008

Quo Vadis Emansipasi di Era Global

Oleh Mutingatun Nadhifah Suara Karya Edisi Selasa, 22 April 2008 Dalam buku Megatrend 2000, John Naisbit dan Patricia Abdurdence meramalkan bahwa kepemimpinan masa depan akan dipegang oleh kaum wanita. Jika ramalan ini benar, tentu layak disambut gembira dan diapresiasi secara positif. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kapan masa itu tiba dan seberapa lama kita menanti? Kenyataannya, di Amerika dan dunia Barat pada umumnya gerakan emansipasi -orang Barat menyebutnya feminisme-justru menjadi dilema. Di satu sisi, gerakan emansipasi yang digulirkan semenjak tahun 1960-an berdampak positif pada kenaikan angkatan kerja kaum wanita, yaitu dari 33 menjadi 60 persen pada rentang 1950-1980. Di sisi yang lain, emansipasi justru melahirkan proses pemiskinan dan mengganggu keharmonisasi rumah tangga. Ini karena konsep dasar emansipasi dunia Barat adalah anti-keluarga, sehingga dalam kurun waktu 1963-1975 angka perceraian juga meningkat drastis menjadi 100 persen. Fenomena pemiskinan wanita

Kebijakan dan Komersialisasi Hutan

Oleh Agus Wibowo Harian Suara Karya, Edisi Selasa, 15 April 2008 Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Belum lama ini, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang berasal dari pemanfaatan hutan. Memang, peningkatan kesejahteraan rakyat yang didapat dari pemanfaatan kekayaan hutan produksi dan hutan lindung menjadi tujuan kebijakan ini. Hanya saja, jika dikaji dengan saksama, PP ini seakan-akan mengobral murah hutan kita. Bagaimana tidak? Pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta per hektare per tahun, atau sekitar hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Jelas ini harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Dengan dalih PNBP dan kesejahteraan rakyat, diizinkan perusahaan tambang untuk mengeksploitasi kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasa

Menanti Ratu Adil Jawa Tengah

Oleh Agus Wibowo Harian Joglosemar Edisi 12-04-2008 Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) yang akan dilaksanakan Minggu, 22 Juni 2008, tinggal hitungan hari. Para kandidat gubernur semakin intensif memperbanyak jaringan, menggalang dan merapatkan barisan massa pendukungnya. Tanpa terkecuali, para kandidat berlomba menyuguhkan pencitraan diri (baca: kampanye) secara kreatif, unik dan khas, melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Mereka juga memanfaatkan media seni budaya yang sangat familiar bagi masyarakat Jateng, yaitu musik dangdut dan campursari. Salah satu kandidat bahkan cukup cerdas menggaet artis campursari, Didi Kempot, untuk pencitraan diri melalui lagu-lagunya. Bait-bait lagu tersebut, menggambarkan sang kandidat sebagai sosok yang begitu merakyat, bersahaja, peduli pada kemanusiaan dan taat pada ajaran agama. Gejala-gejala dalam kampanye Pilkada Jateng inilah yang disebut Amich Alhumami (2008) sebagai the politics of sy