Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2008

Siklus Pendidikan,Gelar Diganti Kompetensi

Agus Wibowo *) Dimuat Jurnalnet.com (Jogja, 11/01/2008 - 13:05 WIB) Dewasa ini, animo masyarakat pada dunia pendidikan cukup menggembirakan. Terbukti, ratusan bahkan ribuan calon siswa atau mahasiswa menyerbu institusi pendidikan saban tahun ajaran baru. Tradisi ini seakan-akan tak terpengaruh oleh kondisi carut-marut sosial, budaya, politik, moral, maupun jeratan krisis ekonomi yang menghimpit bangsa ini semenjak medio 1997. Para orangtua tetap kukuh untuk menyekolahkan putra-putrinya. Tekad para orangtua bahkan tidak semakin surut tatkala mendengar berbagai pemberitaan meningkatnya angka jumlah pengangguran di Indonesia. Padahal, jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan institusi pendidikan baik lulusan Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah maupun perguruan tinggi (PT), dengan gelar Diploma (DIII), Sarjana (S1), maupun Magister (S2). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Pebruari 2007 jumlah pengangguran mencapai 10, 55 juta jiwa, di mana 75 % berasal dar

Kalender Hijriyah; Strategi Kebudayaan Sultan Agung

Oleh Agus Wibowo *) Dimuat Harian Joglosemar Edisi 11-01-2008 Tahun baru Hijriyah yang baru saja kita peringati, merupakan salah satu karya monumental Sultan Agung (1613-1645). Raja Mataram Islam ketiga tersebut, memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok negarawan sejati.Kedatangan agama Islam di tanah Jawa, pelan tapi pasti menggeser agama dan kebudayaan Hindu dan Budha. Pergeseran ini jelas menakutkan dan menorehkan luka. Kita bisa membayangkan betapa sulitnya hidup dalam keretakan budaya. Beruntung, Sultan Agung sangat bijaksana sehingga mampu mempertahankan stabilitas budaya dan politik. Sultan Agung mampu memberi ”warna” Jawa terhadap Islam yang merupakan agama ”baru” zaman itu. Dengan “warna” lokal itu, Islam meresap ke dalam jiwa dan hati sanubari masyarakat Jawa sebagai Islam yang matang dan akomodatif terhadap perubahan, serta tak bersikap galak pada pihak lain. Keteladanan lain yang dicontohkan Sultan Agung, adalah kedekatan dan rasa hormat kawu

Soe Hok Gie, Antara Pena dan Perjuangan

Oleh: Agus Wibowo *) Dimuat Jurnalnet.com (Jogja, 11/01/2008 - 12:59 WIB) “Nasib terbaik pertama adalah tak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.” Inilah kata-kata terakhir aktivis, penulis, budayawan dan pencinta alam Gie (Soe Hok Gie), yang akhirnya juga mati dalam usia sangat muda tatkala mendaki gunung Semeru pada bulan Desember 1969. Tak banyak orang yang mengenal aktivis mahasiswa sekaligus penulis kritis di era 1960-an ini. Apalagi, bagi mereka yang tidak gemar membaca buku. Beruntung, sutradara Riri Riza beberapa tahun lalu merilis sebuah film dengan latar belakang kisah heroik aktivis muda Gie. Film tersebut diambil dari babon buku ”Catatan Seorang Demonstran” karya Gie. Meski tujuan utama pembuatan film tersebut adalah keuntungan finansial sebanyak-banyaknya, tetapi setidaknya film Gie bisa melukiskan sepak-terjang sosok pemuda kritis, gigih dalam idealisme dan menjunjung tinggi moralitas. Paling tidak, sifat-sifat positif

Cara Mudah Menjadi Penulis Terkenal

Agus Wibowo *) Dimuat Jurnalnet.com (Jogja, 07/01/2008 - 09:35 WIB) Judul Buku : First Step To be A Writer Penulis : Darmo Budi Suseno Penerbit : Cakrawala Cetakan : Pertama, April 2006 Tebal : 148 hlm Benarkah menulis itu sulit? Bagi pemula atau orang yang baru memulai terjun ke dunia kata (kepenulisan) bisa jadi demikian. Tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa, “menulis itu mudah”. Kegiatan menulis sesungguhnya adalah proses mengubah cara ungkap kita yang semula melalui mulut (lisan), kemudian diganti dengan cara ungkap simbolik berupa huruf yang mempunyai makna atau pengertian tertentu. Kita sering menjumpai seseorang ketika bercerita, bertutur atau berargumentasi melalui lisan sangat menarik. Akan tetapi, saat si empunya cerita diminta untuk menuliskan argumentasi atau seluruh provokasinya tersebut, sungguh tidak menarik. Atau sebaliknya, orang yang biasa-biasa saja dan sangat pendiam tetapi ketika diminta menulis, hasilnya tulisan yang mengalir, berisi dan mengagumkan. Menulis tak

Penjara itu Bernama Sekolah

Agus Wibowo *) Dimuat Jurnalnet.com (Jogja): (02/01/2008 - 14:20 WIB) Setiap tahun ajaran baru, berbondong-bondong orangtua mendatangi institusi pendidikan. Dalam benak mereka, masih melekat stigma bahwa pendidikan mampu memperbaiki masa depan anak-anak mereka kelak. Bahkan mungkin bisa merubah status sosial sekaligus nasib keluarganya. Fenomena ini sangat wajar dan cukup beralasan. Sampai detik ini, tipologi dan stratifikasi warisan budaya feodal masih menancap dan mengakar kuat di negeri ini. Pemetaan antara kaum miskin yang selalu di bawah, golongan priyayi yang diwakili kaum cerdik-pandai didikan institusi pendidikan dan bangsawan masih kental terasa. Para orangtua menganggap pendidikan merupakan investasi masa depan dan satu-satunya sarana tercepat proses konversi strata sosial. Melalui bangku sekolah (pendidikan), anak-anak mereka kelak bakal menyandang titel atau gelar sekaligus mengukuhkan strata baru sebagai seorang “priyayi.” Hal ini sangat terasa manakala kita berjalan-jal

Belajar Dari Kearifan Budaya Jawa

Oleh: Agus Wibowo *) Dimuat Jurnalnet.com (Jogja, 06/01/2008 - 16:03 WIB) Judul buku : Gusti Ora Sare Penulis : Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto Penerbit : Adi Wacana Cetakan : Pertama, 2004 Tebal : xxxi + 264 halaman “Wong jawa Nggone semu”. Ungkapan ini berarti orang Jawa itu peka terhadap bahasa lambang. Dalam pergaulan orang jawa selalu menyatakan semua keinginan, pendapat, tujuan dan tindakannya tidak secara terbuka —secara simbolis— kepada orang lain. Dalam hubungan ini, orang lain-lah yang harus memahami keinginan apa yang ada dibalik pernyataan orang tersebut. Masyarakat Jawa cenderung berorientasi pada upaya menciptakan hubungan yang rukun dan harmonis. Oleh sebab itu, dalam pergaulan dituntut adanya pengertian seseorang terhadap sikap, pikiran, gaya hidup, dan hal-hal lain yang terkait dengan orang lain. Setiap orang dituntut pemahaman mendalam pada tabiat atau budaya Jawa, khususnya yang terkait dengan etika pergaulan. Karakteristik yang ditonjolka

Dosa Sejarah Orde Baru

A gus Wibowo *) (07/01/2008 - 11:07 WIB) Jurnalnet.com (Jogja) Judul Buku : Diburu di Pulau Buru Penulis : Hersri Setiawan Penerbit : Galang PressCetakan : Pertama, Maret 2006 T ebal : 228 halaman Mata pelajaran sejarah kita—dari sekolah dasar hingga menengah—selau menarasikan peristiwa G. 30 S/PKI atau terkenal dengan ”peristiwa 1965”. Diceritakan bahwa peristiwa berdarah yang merenggut ketuju perwira ABRI, adalah perbuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dijelaskan pula bahwa Jenderal Suharto dengan “SUPERSEMAR-nya”, berhasil menumpas “penghianatan” PKI tersebut. Akhirnya, berbagai gelar kehormatan pun dianugerahkan kepadanya. Suharto lantas dipuja-puja laksana “dewa penolong” bagi bangsa ini. Namun, pelajaran sejarah saat itu —bahkan sampai saat ini, nyaris bungkam. Bukan hanya terhadap apa yang dialami oleh sepuluh ribu tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, tetapi juga tentang pembantaian dan penahanan atas ratusan ribu (atau bahkan jutaan?) anggota dan simpatisan—atau yang sek

Setetes Embun Penyejuk dalam Kegersangan Spiritual

Agus Wibowo *) Jurnalnet.com (Jogja) : (07/01/2008 - 12:26 WIB) Judul Buku : Surat Cinta Al-Ghazali : Nasihat-nasihat Pencerahan Hati Penulis : Islah Gusmian Penerbit : Mizania PT Mizan Pustaka Cetakan : Pertama, Maret 2006 Tebal : 236 halaman Mengapa banyak orang yang berilmu tetapi merasa hidupnya gersang dan tak makna?dan mengapa kita harus menguasai seluruh ilmu jika pada akhirnya tidak bermanfaat bagi diri sendiri apalagi orang lain?. Pertanyaan “men-gelisahkan” itu senantiasa mengusik hati salah seorang murid Imam Al Ghazali. Kegelisahan ini akhirnya mendorongnya menulis surat kepada gurunya—Imam Ghazali— untuk membuatkan ringkasan tentang ilmu yang bermanfaat. Permintaan tulus dari seorang murid ini akhirnya mendorong Imam Al Ghazali menulis sebuah kitab terkenal yang berjudul kitab Ayyuhal-Walad. Dunia moderen yang begitu cepat bergulir, diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat pula. Puncak keberhasilan IPTEK adalah manusia berhasil me

Tuan Guru dan Degradasi Peran Sastra

Oleh: A gus Wibowo *) (03/01/2008 - 17:45 WIB) Jurnalnet.com (Jogja): Judul Buku : Tuan Guru Penulis : Salman Faris Penyunting : Suhaimi Syamsuri & Indra J Usman Penerbit : GENTA Press Cetakan : Pertama, 2007Tebal : 641 halaman Dunia sastra kita dewasa ini diramaikan dengan kehadiran karya sastra picisan (meminjam istilah penyair Chairil Anwar) dengan tema-tema kebebasaan ekploitasi seks, pembalikan logika berpikir serta kisah-kisah percintaan erotis. Misalnya karya Ayu Utami (juga Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu) dengan fiksi-fiksi seksualnya, ditambah keberhasilan Joko Pinurbo dengan tema-tema sepele dan citraan-citraan seputar sarung dan celana, di satu sisi harus diakui memang cukup menyegarkan kembali tradisi sastra Indonesia yang menampakkan tanda-tanda kejenuhan. Tapi, pada sisi lain menjadi penanda degradasi 'peran kepujanggan' bagi sastrawan guna memberikan pencerahan dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada masyarakat pembaca. Ayu Utami (dan kawan-kawan), barang