Oleh Agus Wibowo *
Dimuat Harian Bali Pos, Edisi Senin, 6 Oktober 2008.
"Perilaku urbanisasi, selain untuk mempertahankan hidup dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya, juga dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan."
Urbanisasi menemukan momentumnya setiap tahun sekali, yakni usai mudik Lebaran. Pada momen itu, aparat yang menangani masalah kependudukan di kota-kota besar dipusingkan dengan kehadiran 'warga baru' yang selalu meningkat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebaiknya kota-kota besar menyiasati laju urbanisasi itu? Kebijakan mengurangi kaum urban, sejatinya serba dilematis. Di satu sisi, problem sosial kependudukan yang diakibatkan penyempitan hunian, berkelit-berkelindan dengan persoalan tenaga kerja.
Kaum urban itu, tidak seluruhnya tertampung pada lapangan kerja yang tersedia, sehingga mereka akan menjadi pengangguran. Persoalannya ternyata tidak berhenti sampai di situ, karena para penganggur itu akan menciptakan problem baru berupa meningkatnya tindak kejahatan atau kriminalitas.
Di sisi lain, kebijakan itu jelas tidak manusiawi. Bukankah dalam UUD 1945, tidak ada larangan setiap warga negara asli untuk mendapat kehidupan layak, dengan menempati daerah mana pun di Indonesia? Bukankah mereka datang ke kota-kota besar, semata-mata untuk mengubah nasib?
Bertahan Hidup
Perilaku urbanisasi, kata Wilkinson (1973), motif utamanya untuk mempertahankan hidup dalam konteks ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Ketika lapangan pekerjaan di desa tidak tersedia, sementara tuntutan ekonomi keluarga harus dicukupi, maka merantau adalah sebuah keharusan. Sebab, semakin berlama-lama menganggur di desa, keluarga akan semakin menderita.
Selain itu, urbanisasi juga dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan. Dengan demikian, urbanisasi sejatinya merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat (Stark, 1991).
Di Indonesia, persoalan urbanisasi sudah dimulai dengan digulirkannya beberapa kebijakan 'gegabah' orde baru. Pertama, adanya kebijakan ekonomi makro (1967-1980), di mana kota sebagai pusat ekonomi. Kedua, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan investasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing), yang justru memicu polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Ketiga, penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal dasawarsa 1980-an, yang menyebabkan kaum muda dan para sarjana, enggan menggeluti dunia pertanian atau kembali ke daerah asal.
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali segera mencari solusi agar persoalan urbanisasi tidak menimbulkan problem sosial yang berlarut-larut. Program 'Bangga Suka Desa' yang pernah digulirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu, sejatinya juga untuk mengentaskan persoalan urbanisasi ini. Sayangnya, program ini tidak disertai dengan penyediaan sentra ekonomi yang merata, serta dibarengi dengan penyadaran kultural. Kekayaan budaya dan kearifan lokal yang mestinya diangkat menjadi salah satu aspek penggerak ekonomi -- dengan menjadi desa wisata misalnya -- kurang disosialisasikan dengan menarik. Akibatnya, penduduk desa lebih senang merantau ke kota ketimbang berdiam di desa.
Pemisahan Kawasan
Pemerintah sebagai pembuat keputusan, juga perlu belajar dari negara-negara maju yang berhasil mengatasi persoalan urbanisasi. Amerika Serikat misalnya, yang menyiasati urbanisasi dengan memisahkan pusat pemerintahan di Washington DC, dan pusat ekonomi di New York. Dengan demikian, hanya New York yang diserbu urbanisasi, sementara Washington DC tetap stabil. Strategi itu cukup berhasil karena angka urbanisasinya tidak mengalami peningkatan.
Demikian halnya dengan Vietnam, negara ini juga cerdas menekan angka urbanisasi. Walaupun pembangunan pada bidang perdagangan, industri, dan properti, gencar dilakukan, terutama di Ho Chi Minh, pemerintah mereka tetap melakukan komitmen tinggi terhadap bidang pertanian. Artinya, ada jaminan lahan pertanian tidak akan beralih fungsi (misalnya berubah menjadi perumahan, real estate, dan lain-lain). Hasilnya, petani merasa tenang dan bisa berkonsentrasi bertani tanpa harus menjadi urban di kota.
Selain ibu kota provinsi, ibu kota negara yang berperan sebagai pusat pemerintahan, masih berperan sebagai sentra ekonomi. Akibatnya, kepadatan penduduk dan berbagai masalah sosial tidak pernah terselesaikan. Jika belajar dari Amerika dan Vietnam, mestinya Jakarta hanya berperan sebagai pusat pemerintahan saja, sementara pusat ekonomi dan pendidikan harus diperbanyak di kota-kota penyangga (satelit). Sedangkan desa tetap diprioritaskan sebagai kawasan pertanian dan perkebunan saja.
Tidak dimungkiri, semua kebijakan, perangkat aturan, dan program yang telah disusun guna mengatasi problem urbanisasi tidak ada yang salah. Pendek kata, semua bertujuan mulia, baik, meski belum sempurna. Kelemahannya terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaksananya yang tidak memungkinkan -- bisa dibilang rendah. Pada gilirannya, sering berlaku the wrong man on the right place dalam setiap pelaksanaan kebijakan. Bukan saja pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran, bahkan tidak jarang menimbulkan persoalan baru lantaran ketidaktahuan tersebut.
Selama penanganan urbanisasi dari tingkat kebijakan hingga pelaksananya tidak matching dan hanya dilihat dari satu dimensi, hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. Pada akhirnya, urbanisasi harus dilihat sebagai persoalan bangsa, bukan hanya persoalan pemerintah.[]
* Penulis, peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Dimuat Harian Bali Pos, Edisi Senin, 6 Oktober 2008.
"Perilaku urbanisasi, selain untuk mempertahankan hidup dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya, juga dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan."
Urbanisasi menemukan momentumnya setiap tahun sekali, yakni usai mudik Lebaran. Pada momen itu, aparat yang menangani masalah kependudukan di kota-kota besar dipusingkan dengan kehadiran 'warga baru' yang selalu meningkat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebaiknya kota-kota besar menyiasati laju urbanisasi itu? Kebijakan mengurangi kaum urban, sejatinya serba dilematis. Di satu sisi, problem sosial kependudukan yang diakibatkan penyempitan hunian, berkelit-berkelindan dengan persoalan tenaga kerja.
Kaum urban itu, tidak seluruhnya tertampung pada lapangan kerja yang tersedia, sehingga mereka akan menjadi pengangguran. Persoalannya ternyata tidak berhenti sampai di situ, karena para penganggur itu akan menciptakan problem baru berupa meningkatnya tindak kejahatan atau kriminalitas.
Di sisi lain, kebijakan itu jelas tidak manusiawi. Bukankah dalam UUD 1945, tidak ada larangan setiap warga negara asli untuk mendapat kehidupan layak, dengan menempati daerah mana pun di Indonesia? Bukankah mereka datang ke kota-kota besar, semata-mata untuk mengubah nasib?
Bertahan Hidup
Perilaku urbanisasi, kata Wilkinson (1973), motif utamanya untuk mempertahankan hidup dalam konteks ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Ketika lapangan pekerjaan di desa tidak tersedia, sementara tuntutan ekonomi keluarga harus dicukupi, maka merantau adalah sebuah keharusan. Sebab, semakin berlama-lama menganggur di desa, keluarga akan semakin menderita.
Selain itu, urbanisasi juga dipicu adanya perbedaan pertumbuhan atau ketidakmerataan fasilitas pembangunan, khususnya antara daerah pedesaan dan perkotaan. Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi magnet menarik bagi kaum urban untuk mencari pekerjaan. Dengan demikian, urbanisasi sejatinya merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat (Stark, 1991).
Di Indonesia, persoalan urbanisasi sudah dimulai dengan digulirkannya beberapa kebijakan 'gegabah' orde baru. Pertama, adanya kebijakan ekonomi makro (1967-1980), di mana kota sebagai pusat ekonomi. Kedua, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan investasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing), yang justru memicu polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Ketiga, penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal dasawarsa 1980-an, yang menyebabkan kaum muda dan para sarjana, enggan menggeluti dunia pertanian atau kembali ke daerah asal.
Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali segera mencari solusi agar persoalan urbanisasi tidak menimbulkan problem sosial yang berlarut-larut. Program 'Bangga Suka Desa' yang pernah digulirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu, sejatinya juga untuk mengentaskan persoalan urbanisasi ini. Sayangnya, program ini tidak disertai dengan penyediaan sentra ekonomi yang merata, serta dibarengi dengan penyadaran kultural. Kekayaan budaya dan kearifan lokal yang mestinya diangkat menjadi salah satu aspek penggerak ekonomi -- dengan menjadi desa wisata misalnya -- kurang disosialisasikan dengan menarik. Akibatnya, penduduk desa lebih senang merantau ke kota ketimbang berdiam di desa.
Pemisahan Kawasan
Pemerintah sebagai pembuat keputusan, juga perlu belajar dari negara-negara maju yang berhasil mengatasi persoalan urbanisasi. Amerika Serikat misalnya, yang menyiasati urbanisasi dengan memisahkan pusat pemerintahan di Washington DC, dan pusat ekonomi di New York. Dengan demikian, hanya New York yang diserbu urbanisasi, sementara Washington DC tetap stabil. Strategi itu cukup berhasil karena angka urbanisasinya tidak mengalami peningkatan.
Demikian halnya dengan Vietnam, negara ini juga cerdas menekan angka urbanisasi. Walaupun pembangunan pada bidang perdagangan, industri, dan properti, gencar dilakukan, terutama di Ho Chi Minh, pemerintah mereka tetap melakukan komitmen tinggi terhadap bidang pertanian. Artinya, ada jaminan lahan pertanian tidak akan beralih fungsi (misalnya berubah menjadi perumahan, real estate, dan lain-lain). Hasilnya, petani merasa tenang dan bisa berkonsentrasi bertani tanpa harus menjadi urban di kota.
Selain ibu kota provinsi, ibu kota negara yang berperan sebagai pusat pemerintahan, masih berperan sebagai sentra ekonomi. Akibatnya, kepadatan penduduk dan berbagai masalah sosial tidak pernah terselesaikan. Jika belajar dari Amerika dan Vietnam, mestinya Jakarta hanya berperan sebagai pusat pemerintahan saja, sementara pusat ekonomi dan pendidikan harus diperbanyak di kota-kota penyangga (satelit). Sedangkan desa tetap diprioritaskan sebagai kawasan pertanian dan perkebunan saja.
Tidak dimungkiri, semua kebijakan, perangkat aturan, dan program yang telah disusun guna mengatasi problem urbanisasi tidak ada yang salah. Pendek kata, semua bertujuan mulia, baik, meski belum sempurna. Kelemahannya terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) pelaksananya yang tidak memungkinkan -- bisa dibilang rendah. Pada gilirannya, sering berlaku the wrong man on the right place dalam setiap pelaksanaan kebijakan. Bukan saja pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran, bahkan tidak jarang menimbulkan persoalan baru lantaran ketidaktahuan tersebut.
Selama penanganan urbanisasi dari tingkat kebijakan hingga pelaksananya tidak matching dan hanya dilihat dari satu dimensi, hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia. Pada akhirnya, urbanisasi harus dilihat sebagai persoalan bangsa, bukan hanya persoalan pemerintah.[]
* Penulis, peneliti pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar