Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2007
CARA TERBARU DAN TERMUDAH MENDAPATKAN DOLAR DI INTERNET Selamat untuk anda karena telah membuka web yang sangat berharga ini...! Jangan beranjak dulu karena web ini akan memberikan keuntungan untuk anda. Ini kenyataan dan benar-benar terjadi. Anda akan dibayar dalam US Dolar hanya dengan mendaftarkan diri. Pendaftaran dan keanggotaan tidak dipungut biaya atau yuran dalam bentuk apapun.Siapa yang akan membayar Anda? Jawabannya Anda akan dibayar oleh perusahaan yang mengelola web di bawah ini: http://inspiremarrow.com/pages/index.php?refid=aguswibowo Bagaimana prosesnya? Setelah Anda mendaftarkan diri anda, anda akan mendapatkan bonus sebesar $ 1.500. Tugas Anda selanjutnya hanyalah membuka e-mail yang anda pakai untuk mendaftarkan diri dan mengklik iklan yang di kirimkan oleh Inspire Marrow. Dengan membuka Setiap iklan yang dikirimkan kepada Anda selama jangka waktu sekitar 150 detik, Anda akan dibayar sekitar $ 120. Cara Pendaftaran : Bukan web berikut: http://inspiremarrow.com/pages/
Republik Panggung Sandiwara Oleh : Agus Wibowo * Negeri ini tak lebih sebuah panggung sandiwara non-realis. Masing-masing aktor politik berebut peran. Jika dalam sandiwara realis, watak-watak manusia dalam memperjuangkan kepentingan digambarkan baik melalui jalan praktis maupun jalan idealistis. Dengan cara itu, ‘daging’ realisme sandiwara bisa dikenali, dirasakan dan dihayati kehadirannya. Permainan dituntut wajar namun tetap indah, sebagai sarana transformasi estetis jagat realitas ke jagat simbol. Sang aktor konsisten dengan tokoh yang diperankannya. Tetapi dalam sandiwara non-realis ini tidak demikian. Aktor selalu tidak konsisten dengan perannya, maka alur sandiwara-pun runyam dan tak layak dinikmati. Demikian komentar Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam ”pengajian padang rembulan” di Sleman belum lama ini. Pengajian kali ini cukup spesial, karena dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi RI, anggota DPR/MPR, dosen dan kaum intelektual. Cak Nun menggugah kesadaran hadirin akan ketidak
Muhammadiyah dan Pendidikan Kaum Tertindas Oleh : Agus Wibowo* Harus diakui bahwa Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi yang lahir pada awal abad ke-20 di Indonesia, yang masih tetap solid, tegak, kokoh dan terus berkembang dalam pergulatan politik bangsa ini. Di usianya yang sudah sangat dewasa, telah banyak menelorkan ide-ide kreatif yang turut dinikmati bukan saja oleh anggotanya, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Lewat amal usahanya baik di bidang ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan mampu mengantarkan warganya pada transformasi sosial sekaligus reformasi keagamaan yang disebut Kuntowijoyo sebagai rasionalisasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Muhammadiyah tidak akan pernah ada seperti sekarang ini tanpa perjuangan sosok Kyai Dahlan (KHA. Dahlan), sebagai pendiri Muhammadiyah. Oleh karena itu, sudah semestinya lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah meneruskan nilai-nilai luhur pemikiran dan ajaran Kyai Dahlan, lewat pembelajaran Al
Sastra Adiluhung, Tua dan Terlupakan Oleh: Agus Wibowo* Bagi masyarakat jawa, sastra merupakan karya yang tertata apik dalam bahasa yang indah (basa rinengga). Tak heran jika sastra jawa klasik tak hanya mengutamakan isi, tetapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra Jawa yang terlahir melalui pengolahan rasa dan laku tapa, disebut sebagai sastra adiluhung atau sastra yang memiliki tingkat apresiasi tinggi. Sastra adiluhung ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya (menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek (1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi ruang ideal muara sastra adiluhung. Sejatinya, produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb) tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh pada muaranya
Bencana, Kesalehan Kultural dan Konservasi Lingkungan Oleh: Agus Wibowo* Tahun 2007 nampaknya tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Berbagai bencana masih sambung-menyambung, meluluh-lantahkan kehidupan bangsa ini. Bermula hilangnya pesawat Adam Air, Kapal Motor (KM) Senopati, kecelakaan kereta api, gempa bumi, hingga virus flu burung (virus H5NI), banjir yang menenggelamkan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), kecelakaan kapal Levina I, angin puting beliung (lesus), pesawat Garuda yang meledak sesaat setelah mendarat di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, dan berbagai bencana lainnya sambung-menyambung tiada hentinya. Entah berapa nyawa lagi yang harus menjadi tumbal bencana.Mestinya kita merenungkan sindiran Ebit. G. Ade dalam lagunya; “mungkin alam telah bosan, melihat tingkah kita, yang selalu bangga, selalu puas dengan dosa-dosa”. Alam memang telah kita rusak tanpa belas kasihan. Penebangan hutan atau pembalakan liar (Illegal Logging), penambangan yang tid
Langkah Jitu Pendidikan Perwira Polri Oleh: Agus Wibowo* Baru-baru ini POLRI melankukan gebrakan dengan persyaratan calon taruna Akpol (Akademi Kepolisian) minimal S-1. Menurut Kapolri jenderal Pol Sutanto, seiring dinamika intelektual masyarakat mesti diikuti peningkatan kualitas pendidikan polri. Tidak etis jika rata-rata pendidikan masyarakat Strata Tiga (S3), sementara aparat polri hanya lulusan SMA. Langkah polri tersebut patut disambut dengan gembira. Mengapa demikian ? Banyak penelitian yang menemukan tingkat kesantunan, kejelian dan kematangan psikologis taruna Polri lulusan Sarjana (S1) lebih baik, ketimbang lulusan SMA. Kasus Hendra Saputra, 21, taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang diduga menjadi korban penganiayaan lima seniornya, paling tidak menunjukkan pengaruh buruk rendahnya kematangan psikologis taruna Polri yang selama ini hanya lulusan SMA. Selain itu, kasus Hendra menyisakan catatan penting masih adanya indikasi penggunaan kekerasan
Reshuffle; Profesionalisme atau Kompensasi Politik ? Oleh: Agus Wibowo* Terjawab sudah teka-teki seputar resufle kabinet Indonesia bersatu (KIB), setelah presiden mengumumkannya Senin (7/05/07). Presiden menghimbau masyarakat untuk bersikap arif dalam memaknai proses reshufle kali ini. Dasar profesionalisme dan the right man on the right place-lah yang menjadi pijakan utama presiden dalam memilih sejumlah menteri tersebut. Reshufle yang sempat menimbulkan perdebatan panjang serta tarik-ulur antar partai politik (parpol), tidak membawa perubahan berarti dalam kabinet. Sejumlah wajah baru seperti ; Muhammad Nuh, Luqman Edi, Hendarman Supanji, Jusman Syafii, dan Andi Mattalata menggantikan posisi Sugiharto, Yusril Izza Mahendra, Hamid Awwaludin, Abdurrahman Saleh dan Saifullah Yusuf. Menariknya, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang tidak tersandung kasus malah didepak dari KIB lantaran beralih ke PPP. Gus Ipul dinilai tidak merepresentasikan menteri dari PKB. Sementara, menteri den
Langkah Politik Sultan dan Masa Depan Golkar Oleh Agus Wibowo Suara Karya, Jumat, 27 April 2007 Bumi Mataram belum lama ini diguncang oleh sabda Sultan Hamengku Buwono (HB) X lewat tulisannya "Berbakti Pada Ibu Pertiwi". Di situ Sultan mengungkapkan ketidakbersediaannya dicalonkan kembali menjadi gubernur DIY 2009 mendatang. Rakyat Yogya pun bertanya-tanya, apa maksud sabda Ngarso Dalem tersebut.Guna mengklarifikasi sabda Sultan tersebut, rakyat kemudian berinisiatif menggelar pisowanan agung yang dilaksanakan Rabu (18/4). Tak tanggung-tanggung, acara ini dihadiri lebih dari 40.000 warga. Kali ini Sultan tidak lagi duduk di singgasana, tetapi lesehan sama rendah dengan rakyat. Sikap mau berbaur dengan rakyat ini menunjukkan situasi kedekatan Sultan dengan rakyat. Konsep pisowanan agung-pun bukan lagi bermakna ngabekten, melainkan dialog antara raja dan rakyatnya. Hebatnya reaksi masyarakat terhadap sabda Sultan menggambarkan satu hal sangat penting, yaitu kedekatan ikatan e
Sandiwara Politik Non-Realis Oleh : Agus Wibowo * Negeri ini tak lebih sebuah panggung sandiwara non-realis. Masing-masing aktor politik berebut peran. Jika dalam sandiwara realis, watak pelaku dalam memperjuangkan kepentingannya digambarkan baik melalui jalan praktis maupun jalan idealistis. Dengan cara itu, ‘daging’ realisme sandiwara bisa dikenali, dirasakan dan dihayati kehadirannya. Permainan dituntut wajar namun tetap indah, sebagai sarana transformasi estetis jagat realitas ke jagat simbol. Sang aktor konsisten dengan tokoh yang diperankannya. Tetapi dalam sandiwara non-realis ini tidak demikian. Aktor selalu tidak konsisten dengan perannya, maka alur sandiwara-pun runyam dan tak layak dinikmati. Demikian komentar Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam ”pengajian padang rembulan” di Sleman belum lama ini. Pengajian kali ini cukup spesial, karena dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi RI, anggota DPR/MPR, dosen dan kaum intelektual. Cak Nun menggugah kesadaran kita akan in-konsistenya
Pengajaran Sastra dan Kekerasan dalam Pendidikan Oleh : Agus Wibowo * Clieff Muntu, Praja Tingkat II, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) harus mengakhiri hidupnya di tangan kakak kelasnya (seniornya) senin (2/04/2007). Media cetak dan elektronik beberapa waktu ini berlomba mengulas tragedi tersebut. Beberapa televisi swasta bahkan menaikkan rating tayangan tindak kekerasan yang dilakukan senior IPDN pada yuniornya. Kita-pun dibuat geram oleh tayangan tersebut. Persoalan kekerasan dalam pendidikan —lebih-lebih di IPDN— mestinya tidak terjadi, jika pendidikan sastra mendapat tempat atau diajarkan secara benar dan seimbang dalam lembaga pendidikan tersebut. Tapi kenyataannya, nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan sangat tidak bersahabat. Kurikulum pendidikan malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran sastra masih diomprengkan pada mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa
Pendidikan Nasional, Kembali Ke Khittah Oleh: Agus Wibowo Tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Tetapi, tak banyak kaum muda yang mengerti makna momentum ini, selain sekedar penggembira. Setengah abad yang lalu, Ki Hajar Dewantara lewat gerakan taman siswanya menggagas landasan filosofi pendidikan nasinol, yaitu : Ing Ngarso Sun Thulodho, Ing Madyo Mangun karsa, Tut wuri Handayani. Filosofi ini secara harfiah bermakna pendidik (guru) ketika di depan mesti memberi contoh, di tenggah mampu menyatukan tekad dan di belakang memberikan dorongan serta kekuatan motivasi. Dalam makna luas, pendidikan semestinya menjadi korpus teladan yang diletakkan di garda depan (mainstream paradigma), menjadi semangat keberlangsungan bangsa, serta membangun generasi penerus bangsa yang santun, humanis dan unggul dalam keilmuan. Sejatinya, tiga pilar (tri pusat) filosofi inilah yang menjadi khitah (mainstream epistemologis) pendidikan nasional kita. Selain
Wujudkan Pendidikan Gratis Oleh: Agus Wibowo* Pemerintah baru mengalokasikan 11,8 persen dana APBN guna membiayai pendidikan. Sesuai kesepakatan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah semestinya menganggarkan 20 persen, demikian komentar Mendiknas Bambang Sudibyo dalam peringatan Hardiknas belum lama ini. Nampaknya, ada nuansa in-konsisten pada praktik kenegaraan kita. Sesuai prosedur, jika kebijakan sudah ditetapkan oleh MK maka tak ada pilihan bagi pemerintah selain melaksanakannya. Sejatinya, dalam UUD 1945, amandemen pasal 31 UUD 1945 maupun UU No. 20 Th 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) telah ditegaskan kewajiban pemerintah melaksanakan pendidikan gratis. Anehnya, pemerintah masih enggan melaksanakannya. Lain jika kebijakan mengenai pemberian tunjangan anggota dewan (PP 37 misalnya), justru pemerintah yang getol mengusulkannya. Minimnya subsidi pendidikan (11,8%), berpengaruh pada kondisi keuangan sekolah. Tak heran jika sekolah-sekolah kita ber